Sastra yang menyalin realitas cuma akan menghasilkan karya yang buruk. Karya-karya itu tak akan mampu hidup selamanya dalam ingatan sejarah. Ia lahir secara menggebu-gebu untuk kemudian tenggelam dan dilupakan. Tak ada kenangan, apalagi pelajaran hidup.
Penemuan teknologi digital dalam banyak segi mempermudah hidup manusia, tetapi ia juga menghasilkan sampah berupa karya-karya yang instan. Para penulis diburu keinginan menulis sebanyak-banyaknya untuk memenuhi selera massa, kalau tidak boleh disebut pasar. Dan karena itulah, ia bekerja secara kejar tayang.
Sastrawan Budi Darma (78) beranggapan pengarang yang baik harus mampu mengendapkan dan merenungkan realitas di sekitar hidupnya. Hanya dengan cara begitu, karya-karya yang baik dan menukik bisa lahir. Karya-karya yang kini bertaburan di banyak media, akibat kemudahan teknologi, hanyalah serpih-serpih yang segera akan dilupakan.
”Mungkin ada karya yang serius, tetapi itu (menunggu) seleksi alam,” kata guru besar Universitas Negeri Surabaya itu (Unesa), awal Maret 2015 lalu di Surabaya.
Dalam usia, yang menurut dia tak bisa dimudakan lagi meski dibaca secara terbalik ini, Budi Darma tetap menjadi pengarang dan peneliti yang tekun dan santun terhadap profesinya. Novelnya Olenka (1980) mengejutkan jagat kebudayaan (sastra) Indonesia karena cara pandang dan kedalamannya yang unik. Kumpulan cerpennya Orang-orang Bloomington (1980) dinilai memiliki cara pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan yang orisinal. Olenka meraih juara pertama Sayembara Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta dan Orang-orang Bloomington meraih Southeast Asian Write Award dari Pemerintah Kerajaan Thailand.
”Kalau kita ketemu nanti, saya tidak bisa menjemput Anda karena mobil dipakai menjemput cucu,” tulis Budi Darma lewat pesan singkat. Pesan itu saya pahami sebagai perhitungannya yang begitu detail terhadap berbagai hal.
”Wartawan yang harus mendatangi Anda sebagai narasumber terhomat,” balas saya. Budi Darma lalu menyatakan terima kasih. Kami akhirnya bertemu sebagai dua kawan diskusi. Saya menghormatinya sebagai penulis besar dan hebat serta dosen yang terkenal disiplin, tetapi selalu bersikap rendah hati, serta memperlakukan semua orang secara setara.
Apa yang membuat Anda selalu kelihatan tangguh?
Wah, ya, ndak tahu, ya. Begini. Tanggal 25 April nanti usia saya 78. Sebelum (mencapai) 77 saya bisa bohong. Misalnya 76 bilang 67, 73 bilangnya 37. Sekarang ndak bisa, kalau dibalik jadi tambah tua, ha-ha-ha….
Bagaimana cara Anda menjaga mood kepengarangan, pada usia sepuh masih produktif menulis?
Setiap hari saya ikuti berita di koran, televisi, sehingga pengetahuan saya up to date. Saya usahakan jangan ketinggalan zaman. (Sampai kini Budi Darma masih menulis cerita pendek. Cerita pendeknya ”Lelaki Pemanggul Goni” bahkan dinobatkan sebagai karya terbaik dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013).
Apa yang merisaukan Anda dalam pertumbuhan sastra kita?
Sastra kita terus ditulis. Dunia digital telah membawa sastra ke arah yang belum pernah dicapai sebelumnya. Pada hakikatnya semua bisa dianggap sastra, hanya mana yang bisa dimasukkan kanon (mahakarya) mana yang tidak. Sastra digital kebanyakan tanpa renungan, seperti juga kalau kita baca di Facebook, lebih banyak instan daripada pengendapan pemikiran.
Katakanlah kalau era kertas (buku) ini hilang, bisakah karya-karya yang ditulis pada media digital itu kita harapkan jadi karya sastra yang baik?
Bisa aja, tapi nanti ada seleksi alam. Selain itu banyak juga penulis kita sekarang yang kejar tayang. Mereka menargetkan berapa banyak akan menulis karya.
Apakah karya-karya macam ini akan ada gunanya?
Ini pertanyaan sukar. Sebab, kebanyakan penulis itu, kan, menulis tanpa mempertimbangkan kontrol (orang lain), semua dinilai oleh diri sendiri. Apakah ini ada sumbangannya? Kemungkinan sumbangannya pada literasi. Itu semacam kemampuan menulis dan membaca, tetapi belum tentu menulis sastra. Setidaknya literasi memicu orang untuk berkarya.
(Budi Darma berpikir bahwa tingkat pencapaian literasi satu bangsa akan memengaruhi kemajuan dari bangsa itu sendiri. Sastra digital harusnya menjadi pendorong tingkat literasi di Tanah Air. Tetapi karena sifatnya yang cepat dan instan, sastra jenis ini mudah hilang. Walau ia tetap mengakui bahwa dunia sastra dan filsafat adalah dunia pemikiran yang selalu didatangi orang-orang yang serius. Gerakan-gerakan dalam berbagai bidang tidak pernah dimulai oleh massa, tetapi selalu diawali oleh para pemikirnya).
Jika begitu kita membutuhkan peran kritikus yang lebih aktif?
Begini. Untuk menjadi kritikus yang menghasilkan kritik yang baik, orang harus punya wawasan yang luas. Sekarang pendidikan di mana-mana maju sehingga boleh dikatakan kritikus itu di mana-mana sama mutunya. Kalau mutunya sama, kalau itu misalnya perempuan ya cantik semua, maka tidak ada yang cantik. Kritikus itu sama, kalau kritikus itu sama mutunya atau sama bodohnya, maka tidak ada kritikus yang baik. Kritik sastra kita tidak berkembang, yang ada kritik formal dan kaku di kampus-kampus.
Apa kritik sastra masih dibutuhkan, ketika karya-karya yang lahir instan dan kejar tayang di media berbasis internet itu tidak butuh lagi redaktur koran, editor buku, kurator, atau penyeleksi lainnya?
Kalau kita bicara seleksi alam tadi, kritikus masih tetap dibutuhkan. Gambarannya, Shakespeare pernah bilang, ”Kuda yang bagus tidak mau ditunggangi oleh penunggang yang tidak bagus.” Jadi kalau ada karya yang bagus nanti ada kritikus yang bagus juga. Nah, siapa kritikus Indonesia? Sekarang kita belum tahu karena sama pandai dan sama bodohnya. Tak ada yang menonjol karena semua menonjol, lalu semua jadi tidak menonjol.
Menurut Anda, karya yang baik itu seperti apa, sih?
Prinsip karya yang baik, tidak langsung menggambarkan realitas. Kita bisa lihat, misalnya, sastra Indonesia di masa awal seperti Balai Pustaka dan Pujangga Baru, ditulis di masa kita terjajah. Penulisnya tidak menggembar-gemborkan nasionalisme. Andai kata mereka menggembar-gemborkan nasionalisme, yang dekat dengan situasi zaman itu, mungkin sastra kita dilupakan. Yang kita tangkap, kan, seolah-olah para sastrawan kita waktu itu tidak nasionalis. Pada akhirnya sastra yang bisa bertahan terus adalah karya yang seolah-olah tidak mencerminkan masyarakatnya. Seperti juga pemikiran mengenai nasionalisme di masa penjajahan dulu.
Apakah itu tidak berarti sastra terlambat merespons realitas di sekitarnya sehingga tidak bisa dijadikan pedoman nilai?
Ini lagi pertanyaan sukar. Sebab ini kita sudah memasuki area setengah abstrak. Bagaimanapun juga kalau karya sastra itu benar-benar gambarkan realitas, itu biasanya kurang baik karena sekadar mengalihkan. Dan itu artinya kurang pengendapan dan perenungan. Menulis itu seperti puncak gunung es, ia bisa dikerjakan cepat, tetapi telah melalui perenungan dan pengendapan yang panjang. Nanti pembaca bisa rasakan lewat teks, apakah itu pengendapan atau perenungan yang baik. Itu berarti pembaca yang baik.
Menurut Anda apa sumbangan dunia sastra terhadap peradaban manusia?
Berekspresi adalah naluri manusia. Kita tidak mungkin mematikan sastra sebab itu bagian dari ekspresi manusia. Apalagi belakangan banyak orang ingin jadi bagian dari dunia global. Lihat saja alamat e-mail, ada yang pakai huruf-huruf seolah dia berada di luar negeri. Para pengarang memajang foto sampul buku dan pemandangan di luar negeri. Itu bukan hanya ingin jadi bagian dunia global, tetapi semacam ketakutan ditinggalkan.
Pembiaran
Dalam persepsi Anda apa hal terpenting yang pantas dicatat dalam dunia sastra kita?
Sastra kita umumnya lemah dalam psikologi. Sastra kita selalu datar dalam menggambarkan konflik. Kalau sastra itu psikologinya kuat, berarti konfliknya dilematis. Ini sudah sering dibicarakan karena berkaitan dengan kultur masyarakat. Di Amerika dan Inggris banyak dari kita dapat pertanyaan, kenapa konflik psikologi sastra kita kurang kuat. Tetapi di Tiongkok tidak ada pertanyaan itu.
Apakah ketika pengarang bekerja selalu berkaitan dengan kulturnya?
Ya. Ya kalau dalam budaya tidak ada konflik, karyanya kurang baik. Sebab bagaimanapun juga kita, kan, punya kata-kata selaras dan seimbang sehingga itu yang membuat kita cenderung menghindari konflik. Maka akan banyak masalah yang tak terselesaikan. Sering begitu di Indonesia, masalah-masalah terbiarkan…. Bagaimana ujungnya kita tidak tahu….
Kalau sekarang banyak masalah negara dan rakyat yang terbiarkan itu, apa karena faktor kultural?
Kadang-kadang kita bertanya, kebudayaan itu menentukan apa? Kalau di Indonesia umumnya karena faktor alam dan lingkungan yang tentukan (corak) kebudayaan sehingga pada umumnya kita santai. Memang sekarang beda dengan dulu, di mana orang bisa tidur siang. Sekarang orang tampak lebih sibuk dan itu karena pengaruh masyarakat global….
Apa, sih, biang keroknya?
Walau sudah jadi bagian dari masyarakat modern, kita masih mewarisi secara tidak sadar feodalisme. Coba kita lihat ke kantor-kantor, itu kan feodalismenya masih ada. Di perguruan tinggi, orang-orang yang jadi dosen itu orang-orang yang tunduk, yang bukan vokal, yang nurut.
Berpikir kritis itu sudah dimatikan dari awal, maksud Anda?
Ya. Karena itu, anak-anak muda cenderung banyak pindah kerja. Mereka cari pengalaman baru yang tidak terikat sistem feodal. Meski mereka tidak sadari, mereka tidak mau menurut.
Apa hal-hal seperti konflik ini tecermin dalam sastra kita?
Kalau kita lihat karya Pramoedya (Ananta Toer) konfliknya bagus. Tetapi itu karena ia ceritakan masa penjajahan, yang musuhnya jelas. Sekarang kita tidak (sedang) dijajah, musuhnya diri kita sendiri. Ini lebih sulit. Sebab pada waktu dijajah, persatuan kita lebih kuat, setelah merdeka situasinya lain lagi.
Semua novel dan sebagian karya cerpen ditulis Budi Darma ketika berada di luar negeri. Olenka ditulis semasa ia kuliah di Amerika, sedangkan Rafilus ditulis ketika ia menjadi peneliti di Inggris. Budi Darma selalu menganggap menulis karya sastra sesuatu yang serius, oleh karena itu harus ditulis dalam waktu yang sangat khusus. ”Saya menulis kalau banyak punya waktu sendiri seperti ketika di luar negeri,” katanya. Sastra membutuhkan mood karena ia memperjuangkan nilai. Tidak sekadar berkarya untuk memenuhi selera massa, apalagi pasar. Karya-karya yang dikerjakan dengan cara ini hanya akan jadi karya instan, menu yang renyah dikunyah, tetapi tidak bergizi, bahkan merusak ”kesehatan” sastra kita.
Oleh: Putu Fajar Arcana
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2015, di halaman 12 dengan judul “Menu Sastra Serba Instan”.
Budi Darma
Lahir: Rembang, 25 April 1937
Istri: Sitaresmi
Anak: Diana, Guritno, dan Hananto Widodo
Pendidikan:
sumber: print.kompas.com