Penulis: Akasa Dwipa
Penerbit: Literasi Press Jogyakarta
Cetakan: I, Maret 2016
Halaman: xii + 256, 13×19 cm
“…ceritaku menjadi penghuni Kuil Dunia Baru, menemani sepanjang umur yang tersisa dalam hidupku. Setidaknya ketika aku membukanya, aku bisa melihat anakku, melihat jalan kehidupan, bisa membuka pintu waktu untuk kembali melihat pecahan-pecahan jiwaku yang selalu melayang merindukan ketenangan, menuju sebuah pulau kedamaian di angkasa raya.”
(Silvy alias Sagino)
Pembukaan cerita diawali dari apa yang ditulis seorang Waria dalam sebuah buku harian bersampul merah hati dan diakhiri dengan tulisan Waria yang sama di buku harian yang itu juga. Silvy, Waria ayu yang memerankan diri sebagai narator atas apa dan bagaimana buku harian merah hati, dirinya sendiri, dan seorang pria sastrawan kekasihnya yang ia cintai. Kekasihnya itu pada akhirnya ia sebut dalam suratnya, Susanto, kelak ia anggap sebagai anak.
Silvy bukan narator diktator yang selfish dan manja, pada bab-bab selanjutnya, ia melepas bebas setiap tokoh untuk mengisahkan diri mereka sendiri. Meski di bab-bab akhir cerita terasa juga ia mencoba menggiring alur cerita untuk kembali pada kendali si buku harian merah hati lewat pikirannya, lewat tulisan tangannya.
Di mana sang penulis? Kita tidak akan kesulitan mencari tahu. Ia melekat pada tokoh Susanto. Menurut Silvy, laki-laki itu seorang pecundang, naïf, namun merasa bermoral, menganggap diri seorang sastrawan, dan menjalani hidup vegan. Tentang kehidupan para vegan, novel ini memberi ruang pemahaman dan pengetahuan yang cukup bagi kita yang baru coba-coba atau mengenali apa motivasi terdalam dari para pelaku vegan sehingga tidak tergiur sedikitpun untuk mengonsumsi segala jenis hidangan mengandung daging.
Adapun latar belakang keintiman Silvy dan Susanto dilatari pikiran mereka yang tumbuh dan berkembang bersama. Mereka punya obsesi membangun Kuil Dunia Baru yang mereka isi dengan buku-buku sastra. Hingga pada suatu hari Susanto berbicara kepada Silvy mengenai buku yang menggemparkan dunia karya seorang penulis dari kota yang terkenal dengan satenya. Mereka membeli empat jilid buku karya penulis tersebut. Silvy mengaku tidak paham dan tidak bisa menikmati buku-buku itu. Hal itu disepakati Susanto. Sadar diri bahwa mereka lemah dalam pemahaman toh tak mengurangi semangat mereka untuk membangun Kuil yang mereka anggap akan mempertemukan mereka dengan Dunia Baru.
Cerita dan pencarian akan Dunia Baru itu tidak hanya berhenti di Kuil yang mereka bangun. Silvy mengagumi Susanto. Ia gambarkan semacam ini: “Bagiku, saat ia menghisap dan menghembuskan asap rokok, wajahnya benar-benar tampak sakral, bak orang suci atau pemikir yang berjuang demi kemajuan moral dan perubahan kehidupan orang banyak.”
Sedangkan Susanto menggambarkan dirinya sendiri seperti ini: “Di dunia warasku, aku berpindah dari kedai kopi yang satu ke kedai yang lain, berbicara tentang buku-buku, sastra, penciptaan karya, gagasan-gagasan berbahaya demi perubahan total bagi semua sistem kehidupan… Jika aku laki-laki culas, aku bisa memanfaatkan keadaan. Merayu perempuan-perempuan pengekor dan bebal namun merasa berbudaya dan pintar. Tapi dalam dunia warasku, aku hadir sebagai laki-laki adil dan bermoral… Benarkah aku sebaik itu?… Aku tidak siap latarbelakangku terbongkar. Aku tidak punya keberanian mengatakan hidup bersama waria. Oleh karena itu aku harus meneruskan petualangku sampai titik penghabisan.”
Benarkah Susanto tidak sedikitpun menaruh cinta pada Silvy? Atau paling tidak rasa simpati atau penghormatan sebagai manusia yang mewadahi kesedihannya atau sedikitnya mereka memiliki cita-cita yang setara. Apapun wadat, wujud kasar Silvy.
Susanto bersikeras bahwa kepada perempuan lah cintanya berlabuh. Ia bukan homo, urainya berhamburan sepanjang ia bisa mengutarakannya. Mungkin biseks bila situasi mengizinkan demikian. Sebelum dan setelah mengenal Silvy. Susanto memiliki pasangan perempuan: Elin dan Rima. Tak kurang merepotkan Susanto dengan tabiat temperamental mereka. Bahkan sialnya cap yang sudah mereka sandang. Elin sebagai penyanyi klub malam dan Rima pelacur senior yang bahkan pernah menjalani hidup sebagai mucikari.
Sosok Elin tak muncul lagi sejak dibungkam Susanto di awal cerita ia berselingkuh dengan sopir truk plus cacian Elin bahwa Susanto sebagai seorang parasit tak bermoral. Ternyata secara tiba-tiba sosok Elin datang berikut sumpah-serapah dalam surat dan tentang sebuah rahasia besar yang tak dinyana Susanto, di akhir cerita.
Surat itu Susanto terima ketika ia sudah cukup mampu mengembangkan layar biduk rumah tangga bersama Rima, seorang pelacur limabelas tahun lebih tua dari Susanto di sebuah desa. Perempuan yang Susanto kenal di tempat pelacuran, lokalisasi kumuh, menemaninya minum. Awalnya Rima berperilaku sabar dan lembut. Ia sosok pendengar yang baik. Menanggapi dengan perkataan yang mengarahkannya menjadi laki-laki baik.
Silvy? Bukan tak cenat-cenut menghadapi kekasih yang alih-alih mencintainya memikirkan dirinya pun tidak. Segala jenis petualangan agaknya tak membuat Susanto jera. Ini mengingatkan teori kecil para Wanita tatkala sedang menghibur diri menyangkut tabiat Laki-laki entah ia sebagai Ayah, Kakak, Adik, Suami atau Anak: kalau bosan berhenti sendiri. Apa iya Lelaki sesederhana berhenti sendiri pada waktunya bosan? Tak usah dilarang-larang? Bagaimana dengan Wanita. Tidakkah (berhak) menyatakan hasrat liarnya seliar Laki-laki? Bagaimana dengan peta jiwa para Waria?
Semua itu tampaknya terwakili pada jiwa-jiwa yang terpampang apa adanya dalam novel ini. Tanpa bermaksud nggebyah-uyah, generalisasi, ada saatnya setelah membaca, kita memahami tentang manusia pada dekade ini. Bukan di masa lalu. Bukan di masa mendatang. Sebuah potret hidup masa sekarang, telanjang. Bukan eufemisme dengan daya ungkap dihalus-haluskan. Sarkasme itu menyeruak. Puisi berima-rima apa mampu menyampaikan kabar kematian orang gila yang sedang jatuh cinta, pembunuhan dekat taman kota, dan segala yang sedapat mungkin kita jauhkan dari pandangan anak-anak. Bukan sekedar mengaburkan belahan dada di tivi. Realitas kita, dunia sini-kini tak sesteril sekolah-sekolah unggulan. Ada kehidupan di pinggir-pinggir kali kota sampai di rumah-rumah sederhana di desa-desa yang menampung anak-anak hasil hubungan orangtua di pinggiran kota dengan pola gerak dan pikir yang melatari kelahiran mereka di dunia. Kelak apakah mereka memasuki lingkaran yang sama karena orangtua mereka pendosa? Berhadapan dengan karma orangtuanya bila karma itu ada.
“Aku rasa cara menyampaikannya harus dalam bentuk cerita, supaya bisa melihat siapa yang bersalah di antara kami. Ataukah kami sama-sama benar di posisi kami masing-masing.”
(Silvy alias Sagino)
Malang Selatan 14 April 2016
Oleh: a elwiq pr